Untuk pertama kalinya sejak didirikan pada 1970, Paris Saint-Germain (PSG) akhirnya mengangkat trofi Liga Champions. Mereka mengalahkan Inter Milan dengan skor 5-0 dalam final yang digelar di Allianz Arena, München, Minggu (1/6) malam waktu setempat.
Gol dicetak Achraf Hakimi pada menit ke-12 lalu dua gol dari Desire Doue pada menit ke-20 dan ke-63. Permainan Inter sudah berakhir ketika gol Khvichava Kvaratskhelia pada menit ke-73. Kemudian Senny Mayulu menutup pesta gol PSG pada menit ke-86. Sebuah penampilan kolektif yang dominan di tangan Luis Enrique.
Simone Inzaghi tetap menggunakan formasi 3-5-2 namun bertaruh dengan memasang Benjamin Pavard sejak awal di posisi bek tengah kanan. Sebelumnya, ia dikabarkan cedera dan hanya bertahan bermain selama 54 menit. Sementara PSG bermain dengan skuad penuh dalam formasi 4-3-3.
PSG Menang Sejak Awal
Inter sudah dibuat kesulitan sejak peluit awal dibunyikan. Percobaan bangunan serangan mereka tidak berfungsi dengan baik karena terus menerima tekanan agresif dari PSG. Bahkan tekanan sudah dilancarkan PSG sejak bola dikuasai kiper Inter, Yann Sommer.
Dari tekanan PSG secara kolektif dan terorganisir, Enrique sudah menyiapkan kesebelasannya untuk menutup setiap jalur progresi yang sering diandalkan Inzaghi.
Sebab percobaan serangan balik Inter menjadi terpaksa dilakukan secara tergesa-gesa. Umpan panjang mereka jarang menemui sasaran. Apalagi, kebanyakan umpan panjang diarahkan ke sepertiga akhir bagian tengah karena bek sayap Inter tidak cukup naik mendukung serangan sebagai respons terhadap agresivitas sayap PSG.
Di sisi lain, PSG memiliki transisi bertahan yang sangat baik. Selain cepat mundur ke posisinya masing-masing, Enrique juga menumpuk pemainnya di tengah sehingga umpan panjang Inter sering berakhir sia-sia.
Sementara, para gelandang Inter tidak bisa berbuat banyak atas tekanan yang dilancarkan PSG dan buntunya serangan balik. Tidak berkembangnya pola permainan klub berjuluk I Nerazzurri ini membuat mereka hanya bisa melepaskan dua tembakan tepat sasaran dari delapan kali percobaannya.
Antisipasi Transisi Gagal Total
Berbeda dengan PSG, organisasi transisi bertahan Inter sangat buruk pada laga kali ini. Hal itu sering terjadi ketika Inter baru melancarkan serangan balik. Terutama bagi Pavard dan Francesco Acerbi yang seharusnya memiliki peran sentral dalam disiplin posisi bertahan.
Dua pemain itu gagal mengimbangi kecepatan serangan PSG. Hal itu mengakibatkan Federico Dimarco harus meninggalkan posnya untuk masuk lebih ke tengah atas kesalahpahaman dalam menerapkan jebakan offside. Alhasil, area penjagaannya menjadi kosong sehingga menjadi ruang bagi pemain sayap PSG untuk melepaskan tembakan tepat sasaran.
Proses itulah yang menghukum Inter atas gol pertama dan kedua klub berjuluk Les Parisiens tersebut. Padahal, Lautaro Martinez dkk cukup mampu meredam agresivitas sayap PSG di awal pertandingan. Namun proses Inter dalam penjagaan di area sayap, justru menjadi keleluasaan bagi lini tengah PSG yang dimotori Vitinha.
Keleluasaan yang didapatkan Vitinha pun tidak lepas dari ketidakmampuan Nicolo Barella maupun Hakan Calhanoglu untuk menjaganya. Pada babak kedua, fokus Inter untuk memadatkan lini tengah justru memberikan keleluasaan di sisi lapangan.
Situasi itu jelas memberikan keleluasaan bagi PSG yang gemar menguasai sisi lapangan dan berhasil mengeksploitasi area tersebut. Alhasil Inter justru harus menderita tiga kebobolan pada babak kedua. Mereka gagal menyeimbangkan perlindungan antarsektor maupun lebar lapangan.
Perjudian Inzaghi
Inzaghi mencoba melakukan beberapa perubahan pada babak kedua. Namun pertaruhan pergantian pemain oleh Inzaghi justru gagal total. Pavard yang sejak awal diragukan bermain hanya sanggup tampil 54 menit yang kemudian digantikan Yann Bisseck.
Harapan kepada Bisseck untuk mengimbangi kecepatan serangan PSG harus sirna karena ditarik keluar karena cedera pada menit ke-62. Dimarco yang menjadi kambing hitam atas kacaunya organisasi pertahanan Inter pun ditarik keluar dan digantikan Nicola Zalewski.
Namun masuknya Zalewski justru tidak memberikan pengaruh berarti dan tampak bermain tanpa visi. Davide Frattesi yang diharapkan menjadi pembeda seperti laga semifinal, justru dijadikan penonton di bangku cadangan karena Inzaghi lebih memilih memasukan Carlo Augusto untuk mengganti Mkhitaryan serta Kristjan Asllani mengganti Calhanoglu.
Sama seperti Zalewski, baik Augusto maupun Asllani tidak memberikan dampak signifikan dan tidak membuat serangan Inter lebih berbahaya. Mereka berdua memang cukup mampu meredam Vitinha, namun menyebabkan ruang kosong di area sayap.
Inzaghi gagal menemukan solusi dari bangku cadangan. Perubahan taktik justru menciptakan ruang lebih lebar untuk serangan PSG.
Kesimpulan
PSG bukan sekadar menang besar, tapi menang karena bermain sebagai satu kesatuan yang padu. Mereka menekan dengan cerdas, bertahan dengan disiplin, dan menyerang dengan efisien. Final ini menunjukkan PSG bukan lagi tim yang hanya bergantung pada pemain bintang, melainkan kesebelasan dengan kedalaman, struktur, dan kontrol emosi yang kuat.
Sebaliknya, Inter tampil seperti tim yang kehilangan arah begitu skema awal tak berjalan. Memaksakan pemain, ketidakseimbangan antarlini, kurangnya respons taktis dari bangku cadangan, serta organisasi pertahanan yang kacau membuat mereka tak sanggup menahan gempuran PSG.
Ini bukan hanya kemenangan besar PSG, tetapi juga sinyal bahwa pada akhirnya mencapai level yang selama ini mereka dambakan. Yaitu sebagai juara Eropa yang sah.